Gambaran Kepribadian Sukses ala New Psycho-Cybernetics
oleh Laurentius Erfandy
Santoso pada 28 Januari 2012 pukul 8:07
Maxwell Maltz dalam bukunya yang berjudul
“The New Psycho-Cybernetics” (2004) memberi resep tentang gambaran kepribadian
sukses, dengan rumusan akronim yang mudah diingat yaitu : SUCCESS. Berikut ini
saripati resep yang diberikannya, yang mungkin akan berguna bagi Anda, dan
tentunya sebagai bahan refleksi bagi saya sendiri.
1. Sense of Direction (Kesadaran akan Arah)
Carilah sasaran yang layak Anda capai. Lebih baik lagi kalau Anda tetapkan suatu
proyek. Putuskanlah apa yang Anda inginkan dari satu situasi. Lihatlah ke
depan, jangan ke belakang. Milikilah selalu sesuatu di depan Anda untuk
dijadikan harapan.
Kembangkanlah “nostalgia
masa depan” ketimbang masa lalu. “Nostalgia masa depan” itu bisa membuat awet
muda. Bahkan tubuh Anda pun takkan berfungsi dengan baik, jika Anda tidak lagi menjadi seorang pencapai sasaran dan tidak
mempunyai harapan apa-apa lagi. Karena
alasan inilah seringkali seseorang meninggal tidak lama setelah pensiun.
Kalau Anda tidak berupaya
mencapai sasaran, tidak memandang jauh ke depan, maka sesungguhnya Anda tidak
benar-benar hidup.
Selain sasaran-sasaran
murni pribadi Anda sendiri, milikilah setidaknya satu sasaran yang bukan
pribadi, dimana Anda bisa menghubungkan diri. Berminatlah dalam proyek tertentu
untuk membantu sesama, bukan karena wajib, melainkan atas kemauan Anda sendiri.
2. Understanding (Pengertian)
Pengertian bergantung kepada komunikasi yang
baik. Anda tidak akan bereaksi tepat kalau informasi yang Anda tindaklanjuti
itu keliru dalam mengartikannya.
Untuk mengatasi suatu
masalah secara efektif Anda harus mengerti sifat sejatinya. Kebanyakan
kegagalan kita dalam berhubungan antar manusia adalah karena salah pengertian.
Kita berharap orang lain beraksi dan memberikan respons serta mencapai kesimpulan
yang sama seperti kita dari serangkaian fakta atau keadaan.
Manusia bereaksi terhadap
gambaran mental mereka sendiri, bukan terhadap segala apa adanya. Kebanyakan
reaksi atau posisi orang lain itu bukanlah dimaksudkan untuk membuat kita
menderita, sebagai keras kepala atau berniat jahat, melainkan karena mereka
artikan dan mereka tafsirkan situasinya secara berbeda-beda. Mereka hanyalah
bereaksi sesuai dengan apa yang –bagi mereka- tampaknya benar dalam situasinya.
Mengakui ketulusan orang
lain ketika keliru, ketimbang menganggapnya sengaja atau berniat jahat, akan
membantu melancarkan hubungan antar manusia dan melahirkan pengertian yang
lebih baik diantara mereka.
Tanyakanlah kepada diri
sendiri ”Bagaimanakah hal ini tampaknya bagi dia?” “Bagaimanakah ia menafsirkan
situasi ini?” “Bagaimanakah perasaannya tentang hal ini?”. Cobalah mengerti mengapa ia bersikap seperti
itu.
Seringkali kita ciptakan
kebingungan ketika kita tambahkan opini kita sendiri terhadap fakta-fakta yang
ada dan sampai pada kesimpulan yang keliru (fakta versus opini).
Fakta: Dua orang teman
sedang berbisik-bisik dan berhenti ketika Anda datang
Opini: Pasti mereka sedang
menggosipkan aku (reaksi negatif)
Jika Anda dapat
menganalisa situasi secara tepat dan dapat memahami bahwa tindakan kedua teman
Anda itu bukanlah dimaksudkan untuk menjengkelkan Anda, maka niscaya Anda pun
dapat memilih respons yang lebih tepat dan produktif.
Kita harus dapat melihat
kebenaran dan menerimanya, entah baik atau buruk. Seringkali kita warnai data
yang diperoleh dengan ketakutan, kecemasan, atau hasrat kita sendiri.
Bertrand Russell pernah
mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa Hiltler kalah dalam Perang Dunia II
adalah karena dia tidak sepenuhnya memahami situasinya. Para pembawa berita
buruk dihukum. Tidak lama kemudian tak seorang pun berani mengatakan yang
sebenarnya. (Mungkin hal ini pula salah satu faktor yang menyebabkan kejatuhan
Soeharto dengan kebiasaan laporan Asal Bapak Senang-nya).
3. Courage (Keberanian)
Mempunyai sasaran serta memahami situasinya
belumlah cukup. Anda harus mempunyai keberanian untuk bertindak, sebab hanya
dengan tindakanlah, sasaran, hasrat, dan kepercayaan itu dapat dijabarkan
menjadi kenyataan.
Seringkali perbedaan
antara orang yang sukses dengan pecundang bukanlah karena kemampuan atau ide
yang lebih baik, melainkan keberanian untuk bertaruh atas ide-idenya sendiri
untuk mengambil resiko yang diperhitungkan dan untuk bertindak.
Kita sering membayangkan
keberanian sebagai perbuatan kepahlawanan di medan pertempuran, ketika kapal
kandas, atau dalam suatu krisis. Tetapi dalam kehidupan sehari-hari pun
sesungguhnya menuntut adanya keberanian.
Jangan berdiam diri yang
hanya akan membuat Anda semakin terperangkap. Bersedialah membuat beberapa
kesalahan, menderita sedikit kepedihan untuk mendapatkan apa yang Anda
inginkan.
Berlatihlah sikap berani
dengan “hal-hal kecil”, jangan tunggu hingga Anda bisa menjadi pahlawan besar
dalam krisis yang parah. Dengan melatih berani dalam hal-hal kecil, kita dapat
mengembangkan kuasa dan talenta untuk bertindak berani dalam urusan-urusan yang
lebih penting.
4. Charity (Amal/Belas kasih)
Kepribadian sukses ditandai adanya minat dan
menghargai sesamanya. Mereka menghormati martabat, masalah, serta kebutuhan
sesamanya. Mereka memperlakukan sesamanya sebagai manusia, ketimbang sebagai
pion dalam permainan mereka sendiri. Mereka sadar bahwa setiap orang adalah
makhluk Tuhan dan individu yang unik yang layak diberikan martabat dan
penghormatan.
Adalah fakta psikologis
bahwa perasaan kita tentang diri sendiri cenderung berhubungan dengan perasaan
kita tentang orang lain. Kalau seseorang merasa beramal kepada orang lain, dia
pasti mulai merasa beramal terhadap dirinya.
Orang-orang yang merasa
bahwa manusia itu tidak penting, tidak mungkin menghormati dan menghargai
dirinya sendiri.
Salah satu metode yang
paling dikenal dalam mengatasi rasa bersalah adalah berusaha berhenti mengutuk,
membenci, menyalahkan orang lain atas kesalahan-kesalahan mereka.
Anda akan mengembangkan
citra diri yang lebih baik dan lebih memadai kalau Anda mulai merasa bahwa
orang lain itu lebih berharga.
Memperlakukan semua orang
dengan hormat adalah amal, oleh sebab itu tidaklah selalu dibalas secara
individual dan seketika. Anda tidak bisa memandangnya sebagai transaksi tetapi
harus memandangnya sebagai konstribusi Anda terhadap masyarakat pada umumnya.
5. Esteem (Harga Diri)
Dari segala perangkap serta kejatuhan dalam
kehidupan ini, harga diri adalah yang paling mematikan, dan paling sulit
diatasi karena hal itu adalah lubang dirancang dan digali oleh tangan kita
sendiri, yang terangkum dalam ungkapan” Percuma, aku tak bisa melakukannya”
Waspadalah terhadap
pencuri kebahagiaan yaitu kritikus di dalam diri sendiri. Ketika kritikus dalam
diri sendiri mulai merendahkan kita hendaknya kita tidak ragu-ragu berteriak
“Hentikan!” dan menyuruhnya kembali ke pojoknya yang gelap, pantas dihukum
karena meragukan kita.
Berhentilah membawa-bawa
gambaran mental tentang diri sendiri sebagai individu yang kalah mampu
dibandingkan dengan yang lain. Rayakanlah kemenangan Anda, entah besar atau
kecil, kenalilah dan pupuklah kekuatan-kekuatan Anda, dan terus ingatlah diri
sendiri bahwa Anda bukanlah kesalahan-kesalahan Anda.
Kata “menghargai diri”
secara harfiah menghargai nilai diri. Mengapa manusia takjub melihat
bintang-bintang, bulan, luasnya samudera, indahnya bunga atau matahari
terbenam, tetapi kenapa harus merendahkan diri sendiri? Bukankah semua itu
karya Sang Khalik yang juga menciptakan
kita?
Menghargai nilai diri
sendiri bukanlah egoisme, kecuali Anda berasumsi bahwa Andalah yang berjasa
menjadikan diri sendiri Janganlah rendahkan produk-Nya hanya karena Anda
sendiri yang kurang tepat menggunakannya.
Jadi, rahasia terbesar
dari membangun harga diri ini adalah mulailah dengan berusaha menghargai
sesama, hormatilah manusia manapun sebagai makhluk Tuhan yang unik dan sungguh
sangat berharga.
Latihlah memperlakukan
sesama Anda sebagai manusia yang berharga maka harga diri Anda sendiri pun akan
meningkat. Sebab harga diri sejati
bukanlah berkat hal-hal yang hebat yang telah Anda perbuat, tetapi berkat menghargai
diri sendiri apa adanya–sebagai makhluk Tuhan
6. Self Confidence (Kepercayaan Diri)
Kepercayaan diri dibangun atas pengalaman
sukses. Ketika kita pertama kali memulai sesuatu, kemungkinan besar kepercayaan
diri kita kecil karena kita belum belajar dari pengalaman bahwa kita bisa
sukses. Ini berlaku entah belajar sepeda, berbicara di depan publik, atau dalam
aktivitas lainnya.
Adalah benar sekali bahwa
sukses melahirkan sukses. Sekecil apapun kesuksesan seseorang dapat digunakan
sebagai batu loncatan untuk meraih sukses yang lebih besar.
Teknik penting untuk
memupuk kepercayaan diri adalah dengan mengingat setiap kesuksesan yang dicapai
di masa lalu dan berusaha melupakan kegagalan di masa lalu.
Tetapi apa yang seringkali
dilakukan kebanyakan orang? Mereka justru seringkali menghancurkan kepercayaan
dirinya, dengan mengingat kegagalan-kegagalan yang ditanamkan dalam emosinya,
sementara kisah suksesnya terlupakan, sehingga akhirnya kepercayaan diri pun
menghilang.
Tidak menjadi masalah
seberapa sering Anda gagal di masa lalu, yang paling peting adalah upaya sukses
yang seharusnya diingat, dikuatkan dan direnungkan.
Kalau kita amati
kesuksesan orang lain, hampir semua kesuksesannya tidak pernah dilalui melalui
jalan yang lempang, tetapi mereka justru menempuhnya secara zig-zag. Gunakanlah
kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan sebagai cara untuk belajar, lalu
singkirkanlah itu dari pikiran kita.
7. Self Acceptance (Penerimaan Diri)
Penerimaan diri artinya menerima diri kita
sekarang secara apa adanya, dengan segala kesalahan, kelemahan, kekurangan,
kekeliruan serta aset dan kekuatan-kekuatan kita. Kita harus menyadari
kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan kita sebelum kita dapat
mengoreksinya.
Orang yang paling nelangsa
serta tersiksa di dunia ini adalah mereka yang terus berupaya meyakinkan diri
sendiri mau pun orang lain bahwa mereka adalah lain dari apa yang sesungguhnya.
Tak ada kelegaan atau kepuasan ketika Anda akhirnya menanggalkan segala
kepura-puraan dan bersedia menjadi diri sendiri. Berusaha mempertahankan
kepura-puraan bukan saja merupakan tekanan mental yang hebat, tetapi juga akan
terus menerus menuntun pada kekecewaan dan frustrasi pada saat seseorang
beroperasi di dunia nyata dengan keadaan diri yang fiktif.
Mengubah citra diri
tidaklah berarti mengubah diri Anda, melainkan mengubah gambaran mental Anda,
estimasi Anda, konsepsi Anda dan kesadaran Anda akan diri. Kita bisa mengubah
kepribadian kita, tetapi tak dapat mengubah diri dasar kita.
Belajarlah diri Anda apa adanya
dan mulailah dari sana. Belajarlah untuk secara emosional mentolerir
ketidaksempurnaan pada diri Anda. Penting kita sadari secara intelektual
kekurangan-kekurangan kita tetapi janganlah sampai kita membenci diri sendiri
karenanya. Janganlah membenci diri sendiri karena Anda tidak sempurna. Tak ada
seorang pun yang sempurna dan mereka yang pura-pura dirinya sempurna akan
terkurung dalam kenelangsaan.
Sumber :
Maxwell Maltz. 2004. The
New Psycho-Cybernetics. (alih bahasa:Arvin Saputra, editor Lyndon Saputra).
Batam: Interaksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar