Orang tua maupun guru sering memerankan dirinya sebagai “polantas”,
eits.... jangan emosi dulu, misal: saat anda mengendarai motor melewati
perempatan yang dijaga oleh polantas namun anda tidak memakai helm, tidak pakai
spion, lupa bawa SIM dan tidak menyalakan lampu, apakah yang akan dilakukan
oleh polantas? Pastilah anda akan ditilang dan beberapa hari kemudian cobalah
anda lewat lagi dengan kelengkapan sesuai aturan (safety riding) lewat didepan
polantas, apakah yang akan dilakukan polantas? Pasti membiarkan anda lewat
tanpa reaksi sedikitpun, artinya orang tua sering menghukum (punish) anak
ketika anak melakukan kesalahan namun sering lupa memberi pujian atau
penghargaan (award) saat anak melakukan hal yang benar.
Orangtua dan guru juga sering memerankan diri sebagai
penyidik dengan menggunakan kalimat-kalimat interogasi pada anak saat ada
kejadian tertentu bahkan parahnya lagi kita sering menuduh anak melakukan ini
dan itu sehingga anak benar-benar merasa bahwa dia sperti yang dituduhkan
padanya.
Emosi anak sangat menguasai logika berfikir mereka, ketika
anak sedang emosi maka sia-sia jika kita memberi motivasi sehebat apapun, dalam
kondisi emosi negatif anak tidak bisa menerima input positif. Berbeda hasilnya
jika kita mengetahui terlebih dahulu perasaan mereka dan menjadikan diri kita
sebagai sahabat anak dan berusaha mengerti perasaan anak. Buatlah mereka nyaman
terlebih dahulu, baru kemudian beri mereka nasehat ataupun motivasi
Cara terbaik memahami anak adalah dengan mengetahui emosinya
dan memberi mereka kekuatan dan dorongan untuk menemukan solusinya dengan cara:
·
Dengarkan
mereka, tatap mata mereka dengan tatapan sayang. Terkadang anak tak butuh
solusi namun butuh perhatian, pengertian dan mau didengar ketika berkeluh
kesah, berbahagialah jika anak mau terbuka, berbagi perasaan dan berbagi
fikiran. Cukup dengan berkata: “hmmmm.... gitu ya.... lalu....?” kelihatannya
sederhana namun sulit bagi orang tua ataupun guru yang sering mengambil jalan
pintas dengan langsung pada solusi, ketika kita membiarkan anak mengungkapkan
perasaannya biar dia mencoba menemukan solusi bagi dirinya, dengan pendekatan
ini anak akan semakin terbuka jika ada problem, anak akan semakin percaya diri
untuk mengatasi persoalan hidupnya kelak dikemudian hari.
·
Mengenali
dan menggambarkan emosi. Perlu kita mempelajari emosi dan maknanya yang dialami
manusia sebagai berikut:
a. Marah >>> merasakan adanya ketidak adilan
b. Rasa bersalah >>> kita
merasa tidak adil terhadap oranglain
c. Frustasi>>> melakukan
sesuatu berkali-kali namun hasilnya tidak sesuai harapan artinya kita harus
mencari cara lain / metode lain agar berhasil
d. Kecewa>>> keinginan yang tak
terwujud
e. Sedih>>> kehilangan sesuatu
yang berharga
f.
Kesepian
>>> kebutuhan akan orang yang bukan hanya sekedar teman
g. Merasa tak mampu>>> belajar
sesuatu karena tak bisa dilakukan dengan baik
h. Bosan >>> kebutuhan untuk
mendapatkan tantangan baru
i.
Stress
>>> sesuatu yang terlalu menyakitkan
j.
Depresi
>> sesuatu yang menyakitkan dan harus segera dihentikan.
Begini contoh kasusnya: jika anak anda mendatangi anda dan
dia berkata: “bunda.... Dion tidak mau maen catur ama aku....”, pada kalimat
tersebut ada rasa kecewa dan kesepian. Jadi respon kita yang tepat
adalah: “kamu pengen banget ya maen ama dion? Kamu kesepian ya?” kemudian lihat
respon anak, biasanya anak akan bercerita panjang lebar kemudian biarkan anak
menemukan solusinya sendiri dengan cara : “apa yang bisa bunda/ayah buat untuk
kamu? Mau bermain dengan bunda/ ayah? Ato kamu punya ide?”
Dengan begitu anak akan terbiasa terbuka dengan orang tua dan
mereka terbiasa untuk menemukan solusinya sendiri.
Proses ini memerlukan waktu, tidak bisa sekejap jadi, namun
dilakukan terus menerus sehingga hubungan anak dan orang tua bisa dekat dan
harmonis, bukankah segalah sesuatu itu harus dibentuk melalui proses.
Selamat mencoba menjadi orang tua yang menyenangkan sehingga
anak-anak anda menjadi anak-anak yang menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar